Minggu, 02 Maret 2014

Bagaimana Dunia Kerja Berbicara ?

Enjoy this post

24 Agustus 2009-12 Juli 2013
Menyelesaikan satu babak dalam sejarah hidup
Menjadi sarjana di usia 20 tahun
Dengan IPK pas-pasan
Mengakhiri dengan penyesalan
Tapi harus mengawali dengan PERUBAHAN

Teringat nasehat salah seorang senior di tahun 2009, di acara makrab untuk angkatan saya saat itu "IPK bukan segalanya, tapi segalanya butuh IPK".  Mencoba meresapi kalimat itu, tapi yang namanya saya mahasiswa dablek sehabis diresapi ya dibuang begitu saja, akhirnya sekarang menyesal pun tiada arti.

Tertarik banget buat nulis itu di sini.  Mengkombinasikan dengan fakta yang ada setelah berjuang menjadi seorang fresh graduate yang gak mau jadi sampah keluarga apalagi sampah masyarakat (re: PENGANGGURAN).  

"IPK bukan segalanya, tapi segalanya butuh IPK".

Kita mulai dari kalimat "Segalanya Butuh IPK".

 Ketika kita menjadi seorang fresh graduate yang nasipnya gak bagus-bagus banget (Lulus kuliah bisa ngelanjutin usaha orang tua, atau lulus kuliah nikah muda dengan pasangan kaya raya) alternatifnya ya cuma 2 Kerja atau Kuliah.  Kedua hal ini gak bisa dipisahin dari IPK.  Sempet nyesel karena IPK saya cuma IPK pas-pasan.  Cumlaude enggak, jelek juga enggak.  Tapi saya seneng sekaligus bangga, karena IPK yang saya dapet Alhamdulillah murni pertarungan selama empat tahun jadi mahasiswa idealis.  Saya yang tiap ujian mungkin disebelin temen seangkatan karena gak pernah mau ikutan nyontek, bikin kebetan, usaha sana-sani kalau otak udah buntu, atau seing dianggap pelit karena milih tidur ketika ujian dan keluar dengan kertas jawaban yang padahal gak ada isian (alias KOSONG).  Selepas SMA saya punya tekat untuk berhenti dari kebiasaan buruk saya, FYI jaman sekolah dulu saya termasuk jago buat urusan contek menyontek.  Bahkan saya pencetus ide untuk bikin kebetan di tisu, alih-alih make tisue itu buat ngelap keringet atau buang ingus, tapi sebenernya di balik putihnya tisu ada noda kumpulan rumus atau catatan penting buat dikebet saat ujian, itulah alasan saya mengapa menjadi mahasiswa yang idealis saat ujian.

Kembali kepersoalan IPK.  Sejak awal kuliah ayah selalu bilang "Kalau kamu gak bisa dapet IPK cumlaude atau nama kamu gak dipanggil pas wisuda sebagai lulusan terbaik, minimal IPK kamu bisa buat kamu dipanggil perusahaan buat bekerja."  Bekerja ataupun membuka usaha buat saya itu sama saja, intinya bekerja.  Cuma bedanya bekerja untuk siapa.  Salah satu kesempatan terbesar bagi saya adalah ketika bisa berbincang langsung dengan seorang petinggi di bagian HR (Human Resources) Chevron Indonesia.  Saat itu yang pertama kali beliau tanya adalah berapa IPK saya.  Dengan sedikit malu saya menyebutkan IPK, dan kontan Bapak itu menjawab "Kamu kan perempuan seharusnya bisa dapet IPK yang lebih tinggi dari itu."  

Hampir setengah jam kami mengobrol tentang budaya kerja disana.  Siapa sih yang gak mau kerja di Chevron???  Usut punya usut inti dari pembicaraan kami saat itu adalah, perusahaan ini sangat mengedepankan IPK.  Pertama kali yang dibaca oleh sistem penerimaan online perusahaan ini adalah IPK.  IPK yang kecil akan secara otomatis tergeser dengan IPK yang besar, sampai terlihat kandidat mana yang setelah lolos seleksi IPK juga memenuhi standar kerja yang ada.  Jadi saya sudah pasrah kalau lamaran saya ditolak di sini.

Sebulan yang lalu tepatnya setelah penantian panjang menunggu jawaban dari oil and gass company asal Prancis yang namanya sudah termasyhur saya berkesempatan mengikuti tes meski akhirnya harus FAILED alias GAGAL.  Saya ingat betul ketika sang pewawancara menanyai kekurangan dan kelebihan yang saya miliki, belum selesai menjawab beliau kembali bertanya "it's why You can't get a higher GPA, isn't it?"  emm saya cuma bisa beralibi blah blah and blah.

Dari dua pengalaman ini, saya selalu bilang ke pasangan saya yang saat ini masih menjadi seorang mahasiswa dan punya keinginan besar untuk nyemplung ke dunia offshore, oil and gass "Gak usah buru-buru lulus kalo IPK kamu belum bisa ngejamin kamu diterima di perusahaan impian kamu.  Minimal untuk mata kuliah yang kamu anggap itu krusial bagi industri."  Saya termasuk pasangan yang saklek untuk urusan pendidikan, termasuk pasangan yang galak kalau dia udah melempem sama tugasnya sebagai mahasiswa.  Mungkin karena saya di besarkan dalam sejarah orang-orang yang sulit untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi di jamannya.  Makanya saya gak suka kalau ada orang yang begitu aja nyia-nyiain kesempatan untuk sekolah.

Yang kedua adalah kalimat "IPK bukan segalanya".

 Ini berlaku saat kita udah masuk ke dalam kategori fresh graduate yang beruntung karena udah dapet pekerjaan.  Saya termasuk yang percaya "Your Attitude Determine Your Aptitude" karena sudah membuktikannya.  Di dunia kerja IPK 4. 01 pun ibaratnya gak akan ada artinya kalau gak ada soft skills yang menunjang.  Selain soft skills kita juga dituntut punya keahliaan lain yang mendukung kinerja di perusahaan.  Seperti kemampuan berbahasa asing minimal Inggris, kemampuan komputer di luar sistem operasi MS Office, kemampuan lobbying dan lain-lain.  Itu lah yang menjadi alasan kenapa setiap Minggu saya rela bangun subuh ngejar bus buat berangkat ke tempat les yang jaraknya 2 jam dari rumah, atau tengah malem masih berkutik dengan coding untuk latihan bikin web design.

Sedikit cerita tentang serunya hidup baru saya masuk ke dalam dunia per-HRD-an (Human Resource Development).  Gak perlu saya jelasin lagi apasih HRD itu.  Bersyukur karena saya ditempatin di posisi ini, di posisi yang bisa membuat saya belajar banyak hal untuk menjadi professional worker.  Saya jadi tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan dari perusahaan.  Pekerjaannya memang terlihat simpel tapi tanggung jawab morilnya besar, tim HRD di sebuah perusahaan adalah tombak keberhasilan perusahaan, bukan berarti divisi lain gak penting.  Maksud saya disini adalah, kita punya tugas moril untuk bisa memacu karyawan bekerja lebih giat bersama membangun perusahaan menjadi lebih maju.

Setiap hari harus merekap absen karyawan yang jumlahnya gak cuma seratus dua ratus orang, tapi ribuan (meski gak sendiri sih), melakukan survey secara tidak langsung tentang prilaku karyawan buat dilaporin ke bagian pengembangan yang isinya psikolog-psikolog handal, mikirin konsep pelatihan yang sesuai dengan isue dan memang dibutuhin perusahaan, sampai urusan perut karyawan pun dipikirin.  Mereview menu catering (untuk sarapan dan makan siang) setiap bulannya supaya karyawan gak bosen, konsultasi gizi dengan ahli gizi yang sudah ada supaya karyawan semangat kerja dan gak cacingan hihihihi.

Bisa dibilang saya cukup beruntung karna ada di posisi ini. Seperti yang saya katakan tadi, saya belajar banyak hal untuk jadi professional worker.  Banyak banget kasus yang bisa saya ambil disini, kaya anak yang keliatannya klemer-klemer gak ada motivasi kerja ternyata malah ulet, anak yang IPK-nya tinggi tapi gak punya attitude kerja karna menilai dirinya pinter, atau yang kerjanya males-malesan karna emang dia ngerasa bukan passionnya.  Di sini juga saya bisa mikir lebih bijak kalau bekerja itu bukan semata melulu tentang gaji, meski gak munafik duit itu menggoda banget.  Apa mungkin saya sekarang lagi beruntung karena kerja di tempat yang "fair", dalam artian kerja lo bagus gaji lo juga bagus.  Saya belajar bahwa pencapain tertinggi dalam hidup itu diukur dari kemampuan mengatasi tanggung jawab, termasuk dalam hal pekerjaan.  Your responsibilities will give you higher even highest salary, itu mutlak artinya gaji kita bakal ngikutin tanggung jawab dan performa kita dalam bekerja.  Banyak kok di kapal sana kuli yang gajinya 9.000.000 ke atas, tapi posisinya kuli yang mungkin tanggung jawabnya gak sebesar ketika kita harus membuat satu keputusan penting bagi perusahaan.  Kita bakal punya kepuasan tersendiri saat kita udah dipercaya buat megang tanggung jawab besar, itulah yang saya sebut sebagai pencapaian tertinggi dalam bekerja.

Oke balik lagi ke IPK, Pendidikan itu penting.   Di era pasar persaingan terbuka, AFTA (Asean Free Trade Area) yang mulai masuk ke negera kita, gelar di belakang nama itu penting, apalagi buat negara semacam Indonesia yang mayoritas orangnya gila pangkat.  Buat nyaleg aja minimal ada gelar S (Sarjana) di belakang nama.  Saya juga termasuk orang yang percaya kalau "Allah akan mengangkat drajat hamba-Nya yang berilmu".  Jadi gak akan sia-sia dari yang namanya belajar.  Mumpung ada kesempatan, perbaikin deh kualitas skill kita, kita hidup di jaman yang semakin gila sikut-sikutannya.  Kalau kita yang gak bisa jahat sama diri kita sendiri, kita yang bakal mati dijahatin sama orang lain.  Belajar juga gak harus di bangku pendidikan formal kok, dengan banyak membaca, dengerin keluh kesah orang dan membantu mereka mencarikan solusi itu juga udah belajar (jangan minta dibeliin helikopter aja)

Be person with attitude 
Lovelill 2014

0 comments:

Posting Komentar

Please leave a comment if you have critics for me

 

Template by Best Web Hosting