Jumat, 29 Oktober 2010

Maaf Saya Belum Mau Menikah

Enjoy this post

Masih teringat di ubun-ubun saya dua bulan yang lalu, seminggu setelah lebaran ada seorang lelaki datang bersama ayahnya, mereka dua lelaki yang nampak tak asing bagi saya dan keluarga. Sang ayah datang ke rumah dengan menggunakan baju gamis cokelat, dan anaknya menggunakan baju kokoh hitam, dengan celana jeans biru dongker.

Setibanya mereka di rumah seperti biasa saya menyinggahi mereka untuk sekedar bersalaman, malam itu nampak aneh bagi saya karena mereka datang bukan di Malam Minggu, malam dimana ada pengajian rutin yang memang dilaksanakan di rumah saya. Setelah selesai salaman saya langsung bergegas masuk kamar, kembali menyelesaikan buku bacaan yang sedari kemarin belum saya selesaikan.

"Wah ada perlu apa nih ji ente dateng ke rumah ane, bukan malem Minggu lagi" tanya ayah saya dengan penuh rasa penasaran
"Ah gini nih Muh (panggilan ayah saya), ye yaudeh lah lu tanya anak ane aja dah"

Saya seketika terhenti untuk melanjutkan bacaan saya, penasaran dengan kedatangan Babe, panggilan akrab saya terhadap lelaki tua berumur sekitar 56 tahunan itu.

"Begini Pak Muh, saya cuma mau bilang saya pengen menghibat anak Pak Muh" Jelas suara lelaki yang sudah tak asing di telinga saya.

Kontan ayah dan ibu saya terkejut, begitu pula dengan saya. Entahlah, saat itu saya hanya bisa teriak dalam hati jangan diterima ayah lamarannya. Saya pun tak tau mengapa saya sebegitu tega menolaknya.

Muhammad Chaidir Ali, umurnya 7 tahun lebih tua dari saya, lulusan Sarjana Ekonomi di sebuah Universitas Islam Swasta ternama di Jakarta, saat ini sudah bekerja dan karirnya mapan. Wajah Indo yang dihasilkan dari keturunan Betawi-Arab menambah pandangan sempurna di mata para wanita, tapi entahlah mengapa di mata saya terlihat begitu biasa.

"Ali janji Pak Muh, Ali bakal nunggu anak Pak Muh sampe lulus kuliah. Kalo selama ini Ali ikut babe ke pengajian sini soalnya Ali mau ngenal anak Pak Muh." Jelasnya lagi.
"Iye udah Muh, lo terima lamaran anak ane. Kan dua tahun lagi anak lo lulus. Abis lo pulang haji dah 2012 kita langsung aja nikahin anak lo"
"Buset Ji, ana kagak bisa maen ambil keputusan begini aja, anak ana udah gede, udah punya hak buat jawab iya apa enggak." tutur ayah

Singkat cerita malam itu juga ayah menanyakan perihal lamaran itu.  Entah kenapa saya langsung nangis, saya memang punya mimpi untuk menikah muda., tapi sak muda ini.  Saya menolak lamaran lelaki itu.  Semua kakak sepupu saya berkata betapa begonya saya menolak lamaran itu.  Tapi kembali lagi, ibu hadir di samping saya.  Bersyukur setelah peristiwa ini hubungan keluarga saya dengan keluarganya masih berjalan dengan baik.  Saya rasa, dia sudah cuckup dewasa untuk memaknai arti penolakkan.
Namun hari ini saya tersentak kembali, setibanya saya di rumah ibu berkata ada lelaki yang ingin menghitbat saya kembali.  Lelaki itu bernama Iwan, tidak tahu siapa nama panjangnya.  Dia anak dari teman kakek saya, sama-sama bernaung di sebuah yayasan yang sama sebagai kepala sekolah, masih handa taulani dengan kakek saya.

Yang saya tahu tentang anaknya adalah anak yang biasa saja, lumayan pinter, tapi agak badung,  Maksudnya bukan seorang ikhwan yang ada tampang ustadz seperti ayahnya.  Rumahnya di pinggir jalan, di pinggir jalan tempat biasa saya menunggu angkot.  Saya kaget, saat ibu saya berkata demikian.  Pasalnya kami saja tidak pernah bicara satu sama lain, saling membalas senyum pun tidak pernah.

Saya heran mengapa dia bisa sebegitu yakin melamar saya, padahal usianya hanya 2 tahun lebih tua dari saya, 1 tahun lebih dulu lulus SMA.  Saya tahu saat ini dia memilih tidak kuliah, bukan karena tidak mampu, karena dia sudah keburu tertarik dengan dunia kerja., yang saya tahu saat ini dia bekerja di perusahan motor yang cukup dikenal punya loyalitas yang tinggi dalam memberikan gaji bagi pegawainya, dan tahun depan dia juga akan dikirim ke Jepang selam dua tahun. Jika malam ini saya menerima lamarannya, maka seserahan akan dilaksanakan dua minggu kemudian katanya.  Saya ragu, bahkan sangat ragu.

Dia menghitbat saya sejak sekarang, karena dia ingin sepulangnya dia dari Jepang dia langsung melaksanakan sunnah Rasull, menjadi imam bagi saya.  Entah apa yang dia pandang dari saya.  Saya bukan wanita istimewa, bukan wanita pendiam, tampang saya pun pas-pasan tidak cantik.  Saya juga jarang bersosialilsasi di rumah.  Saking tidak pernah bersosialisasi tetangga saya memberi julkan saya SIPUT.
Saya langsung menceritakan hal ini pada adik terkecil ibu yang sepantaran dengan saya, dan dia berkata saya wanita paling beruntung yang dianugerahi kelancaran jodoh.  Terlebih lelaki itu meminta saya untuk beristikharah dulu, menentukan jwaban berdasarkan kehendak-Nya.


Secepat itukah saya harus menolak hitbatan dua lelaki yang belum saya kenal?
Ingin menangis rasanya, jantung terasa tertampar pedang belati, ubun-ubun hampir pecah memikirkan ketakutan jika saya meolak lamaran ini saya akan menjadi perawan tua, tapi jika saya menerima lamaran ini, saya belum cukup punya banyak waktu untuk memaknai pernikahan!

Saya hanya bisa menata hati dalam kesendirian, berdoa Allah menempatkan saya pada satu cita yang jelas muaranya, pada satu cinta yang jelas akan menjadikan dia imam saya dunia dan akhirat.

0 comments:

Posting Komentar

Please leave a comment if you have critics for me

 

Template by Best Web Hosting