Kamis, 16 September 2010

"JANGAN SEBUT AKU ANAK TUNGGAL YANG TAK BISA MEMIMPIN"

Enjoy this post


Terlahir sebagai anak tungal sering membuat telingaku panas oleh selentingan yang mengatakan ANAK TUNGGAL ITU MANJA, TIDAK BISA MANDIRI, Bla dan bla.  Paradigma orang yang memandang anak tunggal itu tidak bisa memimpin terlebih memimpin dirinya sendiri membuat saya ingin menepis semuanya melalui tulisan ini, dan saya ingin berkata TIDAK SEMUA BENAR!!

Saya bersyukur terlahir dan dibesarkan dalam keluarga besar yang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan dan kemendirian.  Ayah saya, yah beliau sosok besar yang menjadi guru saya dalam belajar menjadi seorang pemimpin.  Beliau yang selalu mensupport saya untuk menjadi wanti besar yang menjunjung tinggi drajat gender saya seperti yang telah dilakukan agama saya untuk kaum wanita.

Ayah saya terlahir sebagai seorang yang saya kenal sebagai sosok yang besar, cerdas, sederhana, loyal ramah, rajin, jujur, dan rendah hati.  Semua sifat yang belum bisa saya miliki.  Ayah saya terlahir dari keturunan berdarah biru, gelar Raden Ajeng yang diterimanya dilepas begitu saja, hidup merantau sebagai yatim sejak 8 tahun membuat ayah saya tumbuh menjadi orang yang kuat.  Menuntut ilmu dari pesantren satu kepesantren lain, dan kemudian meraih beasiswa sekolah ke Jepang.  Negeri sejuta ilmuan yang sering diidamkan oleh banyak orang.

Selama 8 tahun hidup jauh dari ayah, saya dibesarkan oleh ibu dan kakek saya.  Mereka adalah orang-orang hebat yang menuntun saya menjadi anak yang luar biasa.  Mereka yang selalu mengisi hati saya yang merindukan sosok ayah.  Ibu saya mengajari saya banyak hal, terutama menjadikan kelemahan saya sebagai suatu kekuatan untuk bisa diterima orang.

Pernahkah kalian menonton drama korea wedding dress?  Jika pernah, gadis kecil bernama Zora dalam film itu sangat menggambarkan sosok kecil saya.  Banyak saudara saya yang sudah menonton film itu berkata saya sangat mirip dengannya, baik dari segi wajah maupun sifat.  Perlahan ibu saya mengubah sifat saya sendiri dibantu dengan kakek, meski ayah sering menelpon kami karena kami beruntung saat itu di tahun 1998 kami sudah bisa memasang telpon rumah.

Saat ini ayah sudah kembali berkumpul bersama kami.  Alhamdulillah ayah dipercaya untuk memimpin satu anak perusahaan di tempat ayah bekerja selama 30 tahun ini.  Ayah memimpin sebuah perusahaan yang bergerak dibidang otomotif.  Bersyukur yang bisa saya lakukan, bukan karena jabatan ayah tetapi karena sikap ayah yang masih ku kenal sama bahkan semakin rendah hati.  Tahta tidak membuatnya buta, tetap seperti ayah yang aku kenal.  Dari sinilah aku banyak belajar mengenai kepemimpinan.
Dari kecil ayah memanjakanku dengan hal wajar yang tak berlebihan.  Hari-hari kecilku sama seperti anak kecil lainya, hanya aku tidak bisa menghabiskan masa kecilku bersama ayah secara utuh.  Mainan aku punya, fasilitas sekolah pun ada, bahkan dari kecil ayah sudah mendaftarkanku dibeberapa bimbingan les seperti Bahasa Inggris dan Matematika, tapi masalah memanjakan aku dengan menuruti semua mauku tidak aku temukan seperti yang banyak dipikirkan orang tentang anak tunggal.

Ayah sangat menjunjung tinggi agama, dari TK aku sudah dibekali ilmu agama.  Bersyukur aku bisa masuk TK di usiaku yang baru beranjak 2.5 tahun.  Saat aku kecil dulu belum ada istilahplaygroup atau Pendidikan Anak Usia dDini (Paud) yang saat ini lebih dikenal.  Aku bisa sekecil itu bersekolah karena aku sudah bisa membaca huruf latin maupun Iqraa (tahapan pertama membaca Al-Quran).  Ibu memang ibu paling telaten yang ada di bumi ini, dan semua orang yang kenal sosok ibuku berkata demikian.

Saking disiplinnya saat ayah berkesempatan untuk pulang ke Tanah Air , di pagi hari aku mals untuk berangkat sekolah, padahal jemputan sudah menungguku, ayah langsung menyeretku ke kamar mandi dan mengunciku di gudang penyimpanan padi.  Tak ada yang menolongku saat itu, dan ayah baru membukakan pintunya pukul 10:00 tepat jam pulang sekolahku.  Ayah selalu berpesan agama dan pendidikan adalah dua hal terpenting yang harus berjalan dengan seimbang, melengkapi satu sama lain.

Hal lain yang aku kagumi yang merupakan komponen penting untuk menjadi seorang pemimpin adalah kerendahan hati dan loyalitas.  Percaya atau tidak dengan jabatan setinggi yang ayah miliki, ayah tetap menggunakan sepeda motor tercintanya untuk bekerja.  Bukan karena tidak punya mobil, bisa dihitung dengan jari dalam satu bulan ayah menggunakan mobil untuk keperluan mobilitasnya bekerja tapi itulah ayah, Ingin berbaur katanya.  Ayah tak segan mengerjakan tugas karyawannya yang sakit, karena tidak ingin mengecewakan perusahaan katanya, atau lebih memilih membawa bekal makanan dari luar ketimbang makan di restoran atau cafe jika sedang bosan dengan menu kantor.

Saat aku liburan beberapa waktu lalu, ayah mengejakku ke tempanya bekerja.  Ruangan ayah cukup besar, dengan fasilitas penunjang yang cukup baik, kerjaan ayah nampaknya juga tidak berat.  Hanya mengawasi, mengecek laporan, dan tanda tangan.  Di sudut meja aku menemui foto keluarga kami, di sampingya Al-Quran dan Tasbih kecil yang aku ingat itu adalah hadiahku untuknya.  Selama jam kerja, ayah keluar untuk mengawasi karyawannya yang sedang membuat komponen-komponen interior kendaraan.  Sesekali masuk untuk melongokku, jam istirahat pertama digunakan untuk mengobrol bersama kawannya yang ingin berkonsultasi mengenai pekerjaan.  Jam istirahat kedua ayah makan dengan menu yang aku anggap tak cukup menggugah selera makan, ayah tak makan di ruangan sepertiku, ayah makan bersama karyawannya di bangku kayu panjang di belakang kantor.  Tak ada kejcanggungan dan perbedaan antara pemimpin dan anak buah.  Mereka berbaur jadi satu, tetapi mereka tetap menghargai ayahku bahkan sangat menyegani beliau.  Mereka terlihat sangat sayang dengan ayahku, itu semua karena ayah rendah hati dan loyal.

Jujur aku sangat iri dengan ayah.  Aku iri dengan semangat mau belajarnya.  Sesibuk apa pun ayah, beliau selalu sempat untuk menelponku mengobrol sebentar meski terkadang hanya ingin mengeingatkan untuk tidak lupa shalat.  Jam normal kerja ayah dari pukul 07:00-17:00 tiba di rumah magrib, shalat magrib, wiridan sampa Isya, setelah itu makan dan bercengkrama sebentar denganku, lalu masuk ruang kecil untuk belajar dari buku-buku yang dimilikinya, ya beliau hobi sekali membaca.  Pukul 03:00 ayah bangun untuk bersujud menghadap Sang Khalik, Berdzikir, atau sekedar membaca buku, mandi lalu berangkat bekerja.  Semua beliau lakukan setiap hari dan seolah-olah sudah menjadi hoby.  Aku salut dengan beliau, susah yang ku rasa untuk mengikuti jejaknya.

Tapi saat ini perlahan aku belajar seperti beliau, paling tidak belajar memimpin diriku.  Aku harus rendah hati tidak boleh sombong, rajin, loyal, cerdas, beragama, dan berdedikasi untuk lingungan itu yang terpenting.  Aku tidak sempurna memang, tapi aku berusaha sempurna.  Aku hidup sendiri tanpa saudara kandung, aku harus berani memimpin diriku, menjadi yang adil untuk diri sendiri.  Pertama aku belajar konsisten terhadap pendidikan, adil dalam membagai waktu, berkawan dengan siapaun selama itu memberikan dampak baik bagiku, mandiri tak bergantung pada siapa pun, dan terus mengejar mimpiku.  Orang sekelilingku sering menyebutku “MAHLUK TANPA BEBAN” karena tak sedikit pun air mata yang pernah mereka lihat, bukan karena aku tak punya beban hidup tapi karena aku enggan berbagi bebanku, karena aku enggan menjadi orang cengeng dan terlalu bergantung pada orang lain.  Aku ingin menjadi yang kuat untuk kaumku, meninggikan drajat kaumku, menjadi pemimpin dan menhhapus pemikiran orang banyak, sekaligus ingin berujar “JANGAN SEBUT AKU ANAK TUNGGAL YANG TAK BISA MEMIMPIN”

0 comments:

Posting Komentar

Please leave a comment if you have critics for me

 

Template by Best Web Hosting