selamat membaca
Tak terasa sudah hampir 2 tahun aku berada di kota ini,dan tidak terasa aku akan pergi meninggalkan kota ini. Melbourne kota impianku sejak kecil. Butuh perjuangan untuk aku bisa sampai ke kota bahkan benua tempat kota ini berada. Ada banyak hal yang aku dapat di kota ini, yang pada awalnya aku rasa ini hanya sekedar mimpiku di masa kecil yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Tapi Tuhan berkata lain, aku mewujudkan mimpi ini perlahan satu demi satu, menerjang segala batas yang ada di dalam diriku.
Putri Nafizha namaku, orang biasa memanggilku Fizha. Aku hanya perempuan biasa yang berjuang menjadi perempuan luar biasa dengan cara yang tidak biasa. Saat ini aku berumur 22 tahun, aku baru saja menyelesaikan pendidikan S2ku di Melbourne University. 22 tahun untuk menyelesaikan gelar master memang terlalu muda, tapi itulah faktanya karena aku memulai sekolah pertamaku tepat di usiaku baru beranjak lima tahun. Aku lulus dengan IP yang tidak terlau besar hanya 3.62 dari fakultas teknik perminyakan.
Awalnya aku hanya mahasiswa biasa yang tidak memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun semangat yang ada dalam diriku yang sebenarnya adalah amarah dalam diri menghantarkan aku menjadi satu dari sekian banyak orang yang beruntung mendapatkan beasiswa ke Australia.
Ayahku hanya seorang teknisi biasa di sebuah pengeboran minyak, beberapa kilo meter dari rumahku dengan gaji yang hanya cukup untuk menafkahi satu orang istri, dan dua orang anak yakni aku dan adikku Farraz. Bagiku, ayah, ibu, dan Farraz adik lelakiku adalah segalanya. Farraz 4 tahun lebih muda dariku, mungkin Farraz bukan anak yang kata orang-orang adalah anak normal, ya, Farraz satu dari sekian banyak anak penderita syndrome autis. Di dalam keautisannya Farraz memiliki banyak kelebihan, salah satunya adalah kecerdasan dan kelapangan hati untuk menerima keadaannya, bahkan jika dibandingkan dengan diriku Farraz lebih bersemangat untuk menjadi orang yang berhasil.
Aku kecil tidak banyak berbeda dengan anak kecil lainnya,lebih senang bermain ketimbang belajar. Ibuku yang hanya seorang penjual gado-gado sering memarahiku karena susahnya aku untuk disuruh belajar. Sampai pada satu ketika di usiaku yang baru beranjak 6 tahun tepat ketika aku baru duduk di kelas dua SD ibuku menyeretku ke kamar mandi, lalu disiramnya aku dengan air berulang-ulang kali.
“Dasar anak nakal!!! Mau jadi apa kamu kalo dari sekarang saja kamu main terus kerjaannya!!! Ingat kita ini orang susah, kamu itu harapan orang tua, jangan main terus kerjaannya” ucap ibuku sambil terus menyiramkan air ke sekujur tubuh ku.
Bibirku hampir membiru kedinginan aku hanya dapat berkata,
“Ampun ibu!! Ampun ibu!!”
Mungkin naluri keibuan ibuku mulai muncul, ibuku berhenti menyiramiku. Aku sangat merasa kedinginan, rasanya aku ingin sekali keluar dari kamar mandi ini, namun ibu justru mengurungku di kamar mandi yang hanya berukuran dua meter kali satu meter ini.
“Kamu pikirkan apa yang kamu rasakan hari ini, dan ingat ketika kamu kelak menjadi seorang ibu yang sangat berharap pada anaknya.” Ucap ibuku dari balik pintu.
Tubuhku gematar, hanya ada irama dari gigiku yang saling beradu dan sesak akibat tangis. Entahlah, saat itu ada satu pemikiran yang aku rasa tidak semua anak seusiaku memiliki pemikiran yang sama. Meski bibirku tak mampu berujar satu patah kata pun karena kedinginan, hatiku seolah mendendam dalam hati.
“Aku akan ingat hari ini ibu, hari di mana aku akan mengawali hidup ku menjadi apa yang kau inginkan. Hari di mana aku merasa aku anak paling beruntung yang punya ibu seperti dirimu, dan hari di mana akau bersumpah aku akan menjadi kebanggaan bagimu karena telah memilikkiku”
Hampir setengah jam ibuku mengurungku di kamar mandi, ibu langsung menyuruhku untuk membersihkan badanku, dan aku menemukan sosok ibuku yang berbeda saat ia dekap aku dengan desahan nafas seperti menahan tangis yang dapatku dengar saat ia dekap aku.
“Maafin ibu ya dek, ibu cuma mau kamu tidak seperti mereka. Kita memang orang kampung yang tidak punya apa-apa, tapi kita tidak boleh selamanya seperti itu. Kamu harapan ibu dan ayah!! Belajarlah, dan jadikan hidupmu kelak lebih dari apa yang kau punya hari ini!!”
Sejak hari itu, aku menjalani hidupku dengan semangat yang ibuku ucapkan padaku. Ketika aku berusia Sepuluh tahun, Tuhan memberiku kepercayaan untuk menjadi seorang kakak, dan kepercayaan itu semakin beratku rasa manakala aku mengetahui adikku adalah penderita syndrome autis.
Sejak hari itu, aku menjalani hidupku dengan semangat yang ibuku ucapkan padaku. Ketika aku berusia Sepuluh tahun, Tuhan memberiku kepercayaan untuk menjadi seorang kakak, dan kepercayaan itu semakin beratku rasa manakala aku mengetahui adikku adalah penderita syndrome autis.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa memiliki seorang adik penderita autis. Semua bisa ku lalui dengan baik karena ayah ibuku bisa menerimanya dengan ikhlas. Tapi ada satu hari yang membuatku merasa marah dengannya, satu hari dimana aku kembali memandangnya sebagai anak yang tidak lebih sebagai anak yang tidak berguna dalam keluarga ini.
“Hey apa yang kamu lakukan dengan buku ku!!! Kembalikan bukuku!!!” teriakku sambil menarik buku yang ada di tangan Farraz adikku.
“Aku mau pinjam kak, aku mau pinjam!!!” Farraz merengek sambil menarik buku yang sudah berhasil aku rebut darinya.
Kami pun saling tarik menarik, sontak adikku Farraz yang saat itu baru berusia empat tahun terjatuh dengan posisi tangannya menggenggam beberapa lembar sobekan buku.
“Dasar anak idiot!!! Lihat apa yang kau lakukan dengan bukuku!!! Kau merusaknya!!!” teriak aku sambil mengarahkan tanganku seraya ingin memukulnya.
Adikku kontan berteriak, dari kejauhan ibuku pun melihat kejadian tadi, ibuku langsung memeluk adikku dan berkata
“Fizha!!! Apa yang kau lakukan terhadap adikmu? Tidak sadarkah kau bahwa dia adalah adikmu yang seharusnya kamu lindungi!! Ibu tahu dia tidak seperti dirimu, tapi sayang ternyata hatimu tidak lebih dari hati seorang kakak yang tega terhadap adiknya sendiri.”
“Tapi ibu, dia merobek bukuku!!!” balasku dengan nada memelas.
“Coba kamu pikir seandainya kamu tidak melarang dia untuk melihat bukumu, pasti bukumu tidak akan rusak!!” balas ibu dengan nada yang kembali meninggi.
Sejak kejadian itu aku sadar bahwa adik ku juga manusia normal yang butuh diperhatikan. Betapa takjubnya aku terhadap Farraz adikku, dia sering mengambil buku bacaanku dan belajar untuk belajar membaca disela waktu yang ibuku punya. Alhasil di usianya yang baru empat tahun untuk anak dengan berkebutuhan khusus dia sudah bisa membaca. Bahkan pemilik yayasan di samping rumahku, bersedia membiayai adikku bersekolah di sekolah luar biasa bertaraf internasioanal yang sungguh kami pun tidak akan sanggup membayarnya.
Hari demi hari berlalu, tidak terasa aku sudah berada di kelas 3 SMA dan adikku Farraz tiga tingkat di bawahku. Saat itu ayah berada dalam dilema besar, disisi lain ayah menginginkanku untuk melanjutkan ketigkat perguruan tinggi, namun disisi lain ayah tidak punya cukup biaya untuk membiayaiku.
Sampai satu malam ayah berkata di depanku, ibuku dan Farraz satu perkataan yang membuatku tidak mengenal sosok itu sebelumnya ..
“Fizha, ayah tahu kamu ingin kuliah di perguruan tinggi sebagai seorang tenaga ahli di bidang perminyakan!! Tapi kamu lihat ayah, apa yang bisa ayah andalkan sebagai seorang teknisi!! Apa yang sudah ayah berikan pada kalian selama menjadi teknisi perminyakan ? “ ucap ayahku dengan nada tidak mengenakan.
“Mengapa ayah berkata demikian?” Tanya ibu yang saat itu sedang memotong sayuran untuk olahan gado-gado.
“Ayah tidak ingin saja Fizha bermimpi untuk menjadi tenaga teknisi sebuah perusahaan minyak. Sudahlah Fizha, kamu perempuan terima saja kodratmu. Setinggi apa pun kamu bermimpi tetap saja perempuan itu buntutnya di dapur!!! Kita orang susah, untuk makan saja pas-pasan apalagi untuk kuliah!!!.” Jelas ayah sambil mengarahkan telunjuknya kearah ku.
“ Apa maksud ayah berkata bahwa perempuan hanya akan duduk manis di dapur? Ayah menyuruhku untuk segera menikah?” Tanya ku ketus.
“Iya sepertinya kamu sudah paham!!” Jawab ayah sambil melenggang ke arah meja makan.
“Ayah, seumur ibu bersama ayah, ibu tidak pernah menemui ayah seperti malam mini!! Kalo ayah tidak ingin membiayai Fizha biar ibu yang membiayainya!!” Jawab ibu dengan nada emosi.
“Fizha, Farraz!!! Lupakan mimpi kalian untuk bisa menjadi apa yang kalian mau!!! Sekolah setinggi-tingginya, bahkan pergi ke Austalia!!”
“Ayah lupa, ayah yang pertama kali menyemangati kami untuk meraih mimpi kami ke Australi ayah!!!” Jelasku dengan mata yang sudah mengembang.
Ayah langsung meninggalkan kami dalam suasana hati yang penuh amarah namun bingung. Kami tidak pernah menemui sosok ayah seperti yang kami temui tadi.
Esok paginya saat aku hendak pergi untuk melihat pengumuman beasiswa penerimaan mahasiswa baru di ITB, ayah menghampiriku. Jujur hatiku masih sedikit enggan berbicara padanya, namunku lihat muka ayah sangat pucat. Ayah seketika bersandar di bahuku, tak lazim saat ituku rasa. Ayah tak pernah bersikap seperti itu.
“Nak, maafkan ayah atas kata-kata ayah semalam. Tak seharusnya ayah patahkan semangat mu. Sebagai ayah yang tidak bisa memberikan apa-apa, seharusnya semangatlah yang ayah berikan, bukan malah mematahkan semangatmu!! Pergilah nak, semoga hasilnya adalah yang terbaik bagimu!! Semoga itu adalah rizkimu nak!!”
“Terimakasih ayah!! Aku bangga punya ayah sepertimu!!” ucapku sambil memeluk ayah.
Aku pun bergegas melihat pengumuman itu, ya aku berhasil mendapatkannya. Aku berhasil sebagai mahasiswa baru di ITB jurusan perminyakan. ITB, kampus yang berjuta orang inginkan. Aku segera bergegas pulang, di ubun-ubunku hanya ada ucapan aku berhasil. Tak sabar rasanya aku ingin memberitahukan kepada ayah, ibu, dan adikku.
Belum sempat kakiku masuk ke rumah, langkahku terhenti manakala di depan rumahku terpasang bendera kuning, dan beberapa orang keluar dari rumahku dengan wajah bersedih. Hatiku bertanya ada apa ini, aku pun memberanikan diri menapakan langkahku perlahan. Tubuhku melemah seketika, kitaku sadari seonggok tubuh tak bernyawa itu adalah ayahku. Ayah yang tadi pagi dengan manjannya menyemangatiku kini telah pergi tanpa melihat hari-hariku menjadi mahasiswa perminyakan ITB. 22 November 2000 , ayahku pergi bersama mimpi-mimpiku yang tak sempat ia lihat.
Setelah kepergiaan ayahku, ibuku masih terus berjuang untuk membiayai kebutuhan keluarga kami. Bersyukur aku dan adikku masih bisa mengenyam pendidikan gratis. Saat ini tak terasa aku sudah ada di tingkat tiga, tepat pula setahun mendiang ayah ku pergi.
Aku membaca pengumuman di mading kampusku, ternyata ada satu info mengenai beasiswa terusan ke Victoria University, kampus impianku. Adri teman dekatku menyemangatiku untuk meraih beasiswa itu. Adri teman dekatku, dia yatim piatu dari seorang pengusaha kaya di Bandung. Saat itu Adri memberiku kemudahan untuk meraih mimpiku ke Australia. Dia selalu mengantarku ke Jakarta tepatnya ke kedutaan besar Australia di Kuningan.
Suatu malam aku bersama Adri menikmati indahnya Jakarta di malam hari. Tapi seketika aku tersadar bahwa aku tidak mungkin ke Australi sendiri, Farraz di benakku hanya ada dia dan mimpinya yang sama sepertiku bisa bersekolah di Australia. Keesokan harinya aku pergi menemui bagian kepengurusan pendidikan, aku mulai berbicara padanya bahwa aku ingin adikku mendapat beasiswa. Namun setelah aku menceritakan kondisi adikku orang itu justru berkata
“You and your brother have a dream to far!! And it’s impossible for your brother who has autistic syndrome can get a scholarship to go there!! Even if your brother can attend, it just with your money!! And I think you will not be able do!!”
Sakit rasanya aku mendengar kata-kata itu. Aku pun pulang dengan perasaan sedih dan dendam bahwa aku pasti bisa membawa adikku ke Australia. Tapi disisi lain hari itu aku senang, karena aku lagi-lagi terpilih menjadi orang yang beruntung untuk mendapatkan beasiswa itu.
Tiba-tiba langkahku bersama Adri terhenti tepat di depan rumahku. Astaga apa lagi ini Tuhan, akankah sama kisahku seperti setahun lalu mana kala beberapa saat ketika aku masuk ke dalam rumahku temui seonggok tubuh tak bernyawa adalah orang yang aku sayang?? Tubuhku gemetar hebat, Adri pun merangkulku. Ternyata benar firasatku, ya aku harus kembali kehilangan satu penyemangatku saat aku membawa kabar tentang kepastian mimpiku. Ibuku, ya mayat yang tertidur tenang itu adalah lbuku. Ada apa ini Tuhan, mengapa ibu kuharus pergi sama seperti ketika ayahku pergi? Pergi dengan mimpi yang telah kudapat, pergi dengan segala mimpi yang tiap hari ibuku doakan namun tak sempat ia saksikan.
Jenazah ibuku pun sudah dimakamkan. Aku hanya duduk merenung bersama adikku. Kepergian ibu menambah dilema dalam hatiku, saat ini tidak mungkin aku meninggalkan adikku pergi tanpa ada orang yang bisa menjaganya. Tapi sejenak aku teringat kata-kata ibu ku bahwa aku harus selalu bersama dengan adikku, harus bisa meraih semua mimpi-mimpiku. Malam itu juga aku bawa adikku menuju hotel tempat kongres Indonesia-Australia Educational Relation.
Kutarik adik ku, kami menyusuri dinginya malam di Bandung. Aku dan adikku terus menerobos sampai akhirnya aku bertemu dengan Mrs. Angela. Kukatakan padanya bahwa adikku orang yang cerdas, adik kupun pantas meraih beasiswa seperti orang normal lainnya. Saat itu Mrs. Angela memintaku untuk membuktikan ucapanku, nampaknya adikku pun paham apa yang sedang kami bicarakan, karena adikku justru lebih fasih berbahasa inggris ketimbang diriku.
Tanpa aku pinta adikku menjelaskan tentang Australia. Sungguh di luar logika, dia bisa menjelaskan budaya, bahkan letak geografis secara terperinci diikuti dengan pendapat beberapa ahli. Kontan semua orang yang ada di dalam gedung itu terperangah dengan kecerdasan adikku.
Melbourne, 22 November 2006 tepat enam tahun ayahku meninggal, dan tepat pula aku meneyelesaikan kuliahku di kampus tercinta.
“ Kakak!!!”
“Farraz!! Aku sudah menyelesaikan mimpiku saat ini!! Sekarang giliran mu!!” ucapku sambil merangkulnya.
Farraz berhasil mendapat beasiswa bahkan sampai dia menyelesaikan gelar Bachelornya untuk jurusan Geologi di universitas yang sama. Selama di Australia kami tinggal bersama paman dan bibinya Adri. Dan sepulangnyaku dari sini aku sudah diterima diperusahaan minyak terbesar di Amerika, menjadi perempuan sukses seperti yang diharapkan ibuku, didampingi Adri suamiku dan satu pangeran kecilku Farhanzy.
Ini adaah perjuanganku, perjuangan seorang perempuan miskin yang dapat membuktikan bahwa mimpi adalah semangat untuk menjadikannya nyata. Ini adalah bukti bahwa perempuan juga dapat berkarir, perempuan bukan bisanya hanya duduk manis di rumah, bekerja di dapur, dan menuggu suami tiap harinya.
Semua mimpi untuk dua hati yang telah mengadakanku di bumi ini, mimpi untuk duahati, mimpi untuk satu janji bahwa aku bisa menjadikan dua hati itu bangga denganku. Ayahku dan ibuku.
0 comments:
Posting Komentar
Please leave a comment if you have critics for me