Minggu, 05 Desember 2010

Tantangan awal di 18

Enjoy this post

Mataku terdelik tajam di pagi buta, pukul 04:00 aku sudah terbangun. Bersyukur pagi ini aku tidak merasakan pagi yang mencekam.

Seisi rumah sudah sibuk di pagi buta. Ayah ibuku hendak membawa adikku pergi berobat ke rumah kolega kami di daerah Tasikmalaya. Seorang alim ulama yang sudah dipercaya, berharap melaluinya penderitaan adikku pulih.

Ayah sengaja mengambil cuti selama beberapa hari, fokus pada pengobatan adikku. Setiap hari selama sebulan belakangan ini pun ayah terus mengontrolku dengan sangat intensif, memastikan aku baik-baik saja dan tidak merasakan seperti apa yang adikku rasakan.

Adikku yang saat itu telah selesai mandi, duduk persis di sampingku. Matanya kosong, cekung tak berisi. Dia hanya berkata dengan lemas "Doain Qori ya kak! Kakak baik-baik yah nanti di Depok!". Ah Rasanya aku ingin memeluknya erat, tapi gensiku terlalu berat, dan hanya mengeluarkan sepatah kata "Iyah kakak doain Qori! Semangat ya Ri, jangan putus asa selalu doa sm Allah".

Pukul 04:30 bada subuh, ayah, ibu dan adikku berangkat menuju Tasikmalaya. Sekarang tinggal aku sendiri di rumah. Lega rasanya aku sendiri, itu artinya aku bisa menangis, mengungkapkan semua ketakutanku melalui air mata. Aku memang lemah, aku memang cengeng, tapi aku tak ingin membuat seisi rumah melemah karena tangisku. Itu mengapa aku lebih memilih menangis jauh di belakang mereka.

Aku teringat kata-kata ayahku di setiap ada luka yang aku rasa, beliau pernah berkata bahwa hanya ada sedikit ujian dari berjuta keberkahan yang Allah beri. Tapi semua terasa banyak karena kita tidak pernah mau bersyukur. Allah selalu ada untuk hambanya yang benar. Bukan melemah tapi bangkit melawan rasa ketidaknyamananlah yang terpenting saat kamu merasakan ada masalah dalam dirimu.

Aku pun hanya tersenyum kecut. Aku paham dalam hal ini aku hanya memiliki porsi kecil untuk tahu dan masuk ke dalam permasalahan ini. Tapi rasa takutku memberikanku seporsi masalah yang tiba-tiba membengkak seperti bisul besar yang siap pecah.

Ku pandangi kalender yang duduk manis di atas meja belajarku. Ku tatap angka 13 di barisan bulan Desember. "13" ucapku melemas. Tinggal menghitung hari lagi aku menghadapi UAS. Lalu aku ambil beberapa kertas hasil ujian tengah semesterku. Ku pandangi angka 77 di lembar jawaban Bahasa Jepangku. "Masih butuh nilai 90an buat dapet nilai A" Pikirku agak pesimis. Lalu di jok kanan lembar jawabanku tertulis kata "Semangat" yang dituliskan oleh dosenku. Aku tersenyum kecut, dan mencoba menyuntikan kata itu di peredaran darah dan sarafku. Lalu ku pandangi kembali kertas jawaban Statistikku. "92. Masih butuh nilai diatas 80an buat dapet nilai A" ucapku sambil menghela nafas panjang. "Ah apa aku bisa??? Materi yang akan diujikan adalah probabilitas ! Err, materi yang gak pernah aku suka" Makiku dalam hati. Aku kembali mengingat nilai marketing dan accessku semua mendapatkan nilai 80, masih butuh nilai besar juga untuk mendapatkan nilai A.

Lalu aku mataku bergeser kembali ke kalender yang masih setia duduk manis. Ku lihat angka 9 dan 20. Itu adalah angka batas pengumpulan lomba karya tulis. Tanggal 9 pengumpulan terakhir lomba yang diselnggarakan pihak ancol, dan tanggal 20 batas terakhir pengumpulan essai berbahasa Inggris yang diselnggarakan salah satu universitas di Australia.

" 18 yang menantang !! " ujarku dengan penuh berapi-api. Baiklah, aku tidak akan kalah hanya karena orang biadab itu. Aku akan menunjukan padanya bahwa ayahku punya anak yang begitu kuat, yang tidak akan pernah membiarkannya masuk ke dalam hidupku dengan maksud menghancurkan kehidupanku. Tidak akan!!!

Ini tantangan, tantangan di awal 18 tahunku. Pikirkan bahwa banyak orang yang memiliki permasalahan hidup yang lebih besar. Selama ada Tuhan yang bersemayam setia di hati dan langkah, selama itu pula akan akan ada banyak perlindungan yang akan didapat.

Semangat !!!

0 comments:

Posting Komentar

Please leave a comment if you have critics for me

 

Template by Best Web Hosting