Enjoy this post
Jakarta, ada ribuan bahkan jutaan tulisan yang tersimpan
apik di data base milik google tentang Jakarta.
Sudah lama saya ingin menulis ini, namun apa daya baru sempat lebih
tepatnya baru ada semangat untuk memijit huruf demi huruf di papan keyboard
saya.
Kali ini saya mau membahas Jakarta dari sisi lahan mata
pencaharian. Bukan jadi rahasia umum
lagi kalau setiap tahun arus urbanisasi ke Jakarta semakin meningkat. Pemberitaan tentang kejamnya Ibu Kota Negara
Indonesia tidak memadamkan niat warga di luar daerah Jakarta untuk
berbondong-bondong hijrah dan mengadu nasip ke Jakarta.
I feel like a drama.
Ya, setahun yang lalu tepatnya saat saya diterima di sebuah perusahaan
perkapalan harus dengan ikhlas meewati kesempatan emas tersebut dengan satu
sebab karena saya harus melewati masa probation 3 bulan lamanya di
Kalimantan (belum lulus juga sih) hahah. Well sebagai anak perempuan
satu-satunya di rumah, sekaligus anak Betawi Aseli (gak maksud rasis) tentu
orang tua saya menolak mentah-mentah keinginan saya untuk bekerja disana. Saat itu kalimat yang diungkapkan oleh ayah
saya sama persis dengan kalimat yang diungkapkan oleh Babeh Sabenih (alm. H.
Benyamin Sueb) ke anaknya Si Doel dalam drama Si Doel Anak Betawi “ Ngapain
jauh-jauh di tengah laut Cuma buat kerja, orang daerah aja pada lari ke Jakarta
ngapain kita lari ke daerah.”
Lalu apa korelasinya antara pengalaman saya tadi dengan
tulisan ini?
Kalu dipikir-pikir memang ada betulnya juga ucapan ayah
saya, tapi gak betul-betul banget karena sesungguhnya daerah-daerah yang
penduduknya hijrah ke Jakarta sangat membutuhkan mereka untuk membangun daerah
asalnya. Banyak tenaga ahli yang bekerja
di Jakarta berasal dari daerah-daerah yang sebenarnya tertinggal karena
kurangnya SDM yang bisa membangun.
Tinggal di Jakarta gak butuh skill level expert, kecerdasan level professor, yang dibutuhkan
Cuma keberanian dan kemauan untuk bertahan hidup dan memperbaiki kualitas hidup
level Hercules, untuk bisa bertahan
dengan segala aturan-aturan dan kekejaman Jakarta itu sendiri. Kenapa saya bilang gak harus punya skill dan
kecerdasan level tinggi? Coba kita
ingat-ingat saat media gencar memberitakan urbanisasi di Jakarta menjelang arus
balik pemudik di lebaran, setiap orang yang memutuskan untuk hijrah ke Jakarta
saat diwawancarai pasti jawabannya “Karena mau kaya, mau sukses, mau punya
banyak uang” intinya adalah KARENA UANG.
Saya pribadi lebih senang menyebut Jakarta sebagai ladang
uang, tempat yang tepat untuk mencari uang.
Gak percaya? Cobalah sekali-kali
makan di deretan kaki lima di sekitar perkantoran yang berjajar apik sepanjang
Sudirman-Thamrin, atau Kuningan-Tebet, anda akan menemui bakwan dengan diameter
kurang dari 10 cm dengan harga 2000-3000/ buah.
Ironisnya bakwan itu hanya di jual di emperan jalan dengan rasa yang
sedikit tercampur debu-debu yang bertebaran di sekelilingnya.
Tapi gak jarang mereka yang hanya punya modal nekat, tanpa
ada tekad yang kuat untuk hidup di Jakarta dengan cara yang lebih baik dan
terhormat justru lebih memilih hidup dengan menjual belas kasihan alias
mengemis. Menemukan pengemis di Jakarta
sangat mudah, yang susah adalah menemukan pengemis yang jujur yang memang tidak
ada pilihan lain untuk mereka.
Lovelill, 2015
0 comments:
Posting Komentar
Please leave a comment if you have critics for me