Bangun-bangun saya melihat chat yang isinya sharingan saya tadi malam dengan teman SMP sesama penganut status "Anak Tunggal". Belakangan saya memang sedang kepingin untuk rajin-rajin sharing tentang kehidupan dan rencana-rencana masa depan para anak tunggal. Well sampai pagi ini saya masih setia depan hape membalas chat demi chat.
Memasuki kepala 2 itu memang unik, permasalahannya juga pelik. Terutama masalah cinta, tsaaah. Buat saya yang sudah 5tahun pacaran terus pada akhirnya memutuskan untuk putus bisa menjadi pukulan berat di usia saya yang ke 22 ini, dan sempat berpikir mungkin akan terlihat sulit melewati hari-hari setelahnya. Tapi ternyata, Alhamdulillah saya bisa melewati masa-masa galau dan sedikit drama nangis bombay cuma sepersekian hari.
Saya sudah sangat ikhlas merelakan apa yang sudah menjadi keputusan saya, hal yang membuat saya kuat mungkin karena niat saya untuk memperbaiki diri sebagai manusia beragama sekaligus ingin hidup tanpa beban. Hal ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk tanggung jawab saya terhadap setiap keputusan yang saya ambil.
Bersyukur kehidupan percintaan selama 5 tahun ini berjalan dengan sangat baik dalam bentangan jarak yang cukup jauh, intensitas bertemu yang sangat jarang sehingga probabilitas kami untuk berbuat hal-hal yang negatif sangat kecil. Pacaran saja memang hal negatif, apalagi sudah menjalani. Tidak dapat dipingkiri sebagai manusia normal yang punya syahwat sedikit pegangan atau sekedar cium kening saat berjumpa pasti menjadi bumbu sendiri sebagai bagian "pemanis" sebuah hubungan, and we did it also.
Belakangan saya sering teringat akan satu nasihat, bukankah kita tidak pernah tahu mana duluan yang akan meminang kita, jodoh atau kematian? Dari situ saya berpikir keras,kita tidak pernah tahu warna daun kebidupan kita di Lauhul Mahfudz, seberapa sudah menguning dan rapuhnya dia. Jujur saya takut mati, takut kehidupan setelah kematian, kesempitan, kegelapan dan kesendirian di alam baqa, ketakutan yang wajar menurut saya.
Bukannya saya mau sok alim, tapi sudah sewajarnya dalam kehidupan manusia di kepala 2 dia akan melewati tahap pematangan diri secara aqidah. Baik jodoh maupun kematian saya rasa adalah takdir yang mutlak, tapi pernah kah kita bayangkan bahwa kematian itu takdir yang sangat pasti kedatangannya.
Dari ketakutan itu saya belajar memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik, toh menggantungkan diri pada manusia juga akan sangat melelahkan. Saya tahu diri untuk mengakui bahwa saya juga belum siap menikah. Terlebih jujur saya punya traumatik sendiri terhadap pernikahan. Saya mencoba berhenti mengeluh tentang pernikahan, atau bersikap seperti beberapa teman saya yang sudah "ngebet" nikah tapi pasangannya belum siap.
Saya gak mau seperti wanita murahan yang menuntut pasangan untuk buru-buru dilamar, tidak ingin membatasi mimpi seseorang yang mungkin mau lebih banyak berkarya untuk kekuarganya sebelum memiliki keluarga kecilnya sendiri. So, mengejar kematian dulu jauh lebih baik bukan? Toh kalau persiapan diri kita terhadap kematian sudah cukup baik bukankah persiapan akan pernikahan juga akan berjalan beriringan?
Kalau posisinya saat ini saya sendiri, karena memang sudah menjadi keharusan saya untuk sendiri. Saya harus bisa menjaga diri karena belum siap untuk menikah. Tidak ini memberikan fitnah untuk orangtua karena omongan-omongan tetangga "Udah pacaran lama, kapan nikah?", lebih baik saya sendiri tetap dengan pertanyaan "Kapan Nikah?" Tanpa ada embel-embel selentingan negatif seputar pacaran.
Toh jodoh sudah ada yang mengatur, nikmati saja hidup yang sudah terlanjur tersaji, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya hidup sendirian kok, kan sudah jelas dalam QS. Ar-rum yang sering kita baca di kertas undangan bahwa Allah telah menciptakan setiap mahluk-Nya berpasangan. Lebih baik memperbaiki diri dulu untuk menyiapkan kematian, jangan menikah hanya karena "bosan kondangan", tapi jangan juga terlalu merasa nyaman di zona kesendirian.
Untukmu jodohku,
Temui aku mungkin 2 tahun lagi
Karena aku ingin bernafas tanpa beban
Karena aku ingin terlebih dulu berjalan sendirian ...
Pintaku, semoga kamu dulu yang menjemputku
Bukan kematianku
Untuk orang-orang di masa laluku, kamu baik tapi mungkin belum menjadi yang terbaik. Tanpa kamu, dan sederetan cerita kita, aku mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana harus menjadi manusia yang lebih baik dalam ketaatan.
Ulilupil 2015
0 comments:
Posting Komentar
Please leave a comment if you have critics for me