Sepekan sudah setelah saya bertemu dengan lelaki tua dengan karung berisi tumpukan gelas bekas air mineral. Umur lelaki tua itu kira-kira 70 tahun, ya sudah pantas disebut dengan julukan kakek. Tubuh ringkihnya perlahan mengangkat karung tadi ke dalam gerbong commuter line jurusan Bogor. Saat itu suasana gerbong cukup sepi, terlihat dari banyaknya kursi yang masih kosong. Setelah karung tadi berhasil masuk, kakek tadi pun ikut masuk, berdiri di sandaran tempat duduk prioritas, tepat di depan pintu otomatis gerbong. Saya yang sedang asik dengan gadget di tangan, menatap iba pada tubuh ringkihnya, memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala yang ditutupi dengan peci.
" Pak, duduk aja kursinya kosong, berdiri capek loh hehe"
Dan kakek itu menjawab dengan jawaban yang berhasil membuat dada saya sesak sepanjang perjalanan menuju stasiun tujuan.
"Gak usah Neng, Bapak diri aja. Gak punya tiket hehe (masih sempat tersenyum dengan raut wajah yang penuh dengan keriput di pipi). Masih dibolehin naik aja Bapak udah bersyukur."
Saya hanya bisa tertegun lemas. Sulit membayangkan ada berapa orang yang seperti kakek ini tidak bisa menikmati fasilitas negara yang katanya juga milik rakyat. Setelah kebijakan PT KAI menghapus KRL Ekonomi Subsidi, kehilangan kenyamanan dan mata pencarian jelas menghantui rakyat kecil yang biasa menggantungkan hidupnya di sini.
"Oh yaudah Pak gak apa-apa duduk aja. Emang Bapak mau kemana?"
"Ke Bogor Neng"
"Astaga Pak itu masih jauh, udah gak apa-apa duduk aja"
"Iya Neng gak usah"
Percakapan kami pun berakhir. Sesekali saya menatap ke layar gadget saya, dan sesekali menatap pilu kepada tubuh ringkih kakek tua ini. Matanya sayu-sayu menikmati dinginnya "AC" di gerbong yang pagi itu cukup sejuk, mengantuk mungkin, namun sesekali ketenangannya terusik karna matanya harus bolak-balik mengamati keberadaan petugas karcis yang terkadang karna tuntutan profesionalisme suka berbuat anarkis, memarihi penumpang yang tidak bertiket dengan sinis bahkan nyaris brutal.
Setelah setengah jam lebih, akhirnya saya tiba di stasiun tujuan. Niat hati ingin memberi sedikit rizki saya kepada si kakek tertahan karana suasana gerbong yang mulai ramai. Saya takut kakek itu tersinggung, apalagi dengan karung di sampingnya menunjukan bahwa beliau bukan seorang pengemis yang menjual kelemahan dan kekeriputannya dengan rasa iba orang lain agar diberi uang.
Saya tiba di stasiun UI, bergegas menuju salah satu tempat makan yang jaraknya tidak cukup jauh dari stasiun, di sana sudah menunggu dua sahabat saya Tiwi dan Sheila, kita memutuskan untuk sepersekian jam menikmati makanan sambil membicarakan tugas akhir.
Di jalan menuju tempat makan, saya menemui pengemis tua yang tuanya setara dengan kakek yang saya temui di kereta tadi. Kakek tua itu berdiri di ujung gang, dengan tubuh yang sebenarnya masih gagah dan kuat untuk bekerja, umurnya ya sama lah dengan kakek tadi, bedanya di tangan kakek tadi seonggok karung berisi gelas bekas air mineral, dan di tubuh tua kakek ini adalah satu buah gelas bekas air mineral, ya kakek ini seorang pengemis.
Apa bedanya kakek pertama dan kedua yang saya temui tadi ?
Bedanya mereka punya pemikiran untuk memperjuangkan kehidupan dengan cara yang sangat berbeda. Kakek pertama mencurahkan hidupnya untuk bekerja, meski hasilnya sedikit dan resikonya besar, kalau kakek kedua mencurahkan dirinya untuk dihidupkan orang lain, dengan hasil yang banyak dan resiko yang sedikit.
Saya termasuk orang yang mudah iba, tapi kalau untuk bersedekah saya bukan seorang dermawan yang dengan mudah mengeluarkan uang meski hanya selogam uang lima ratus perak. Kalau ada pengemis anak kecil, pengemis tua yang saya temui tapi perokok, atau pengemis ibu-ibu dengan gendongan anak, jangan harap bisa membuat saya iba. Apalagi sekarang sudah banyak pemberitaan yang menguak kebohongan para pengemis guna meraup keuntungan yang banyak.
"Kasihlah sedekahmu ke orang yang benar-benar haknya. Bukan kepada orang yang meminta belas kasihan. Keibaan itu bukan buat dibeli, meminta-minta itu bukan hal yang diperbolehkan Allah. Jadi cerdas kalau mau sedekah, meski jujur gak jujurnya pengemis emang urusan dia, tapi kalau kita terus ngasih kapan mereka bisa keluar dari kebobrokannya?"
Kalimat tersebut sering dilontarkan ayah. Ya ya ya , mengemis itu bukan suatu profesi yang harus kita dukung. Rasanya disaat keibaan justru dimanfaatkan sangat kurang ajar bukan? Kalau saya pribadi, jika mau bederma, bersedekahlah untuk masjid, anak yatim yang memerlukan biaya namun dia tidak pernah meminta (mengemis), pada tetangga maupun saudara yang hidupnya masih susah, itu jauh lebih baik dan mendidik.
Kalau kita masih iba pada pengemis kecil, kapan negara kita bisa maju, kalau kita sudah mendukung mental malas mereka, sesungguhnya rizki itu harus dicari dengan sebaik-baiknya jalan, meski si miskin dan si kaya itu ada, tapi lengkapilah kehidupan si miskin dengan cara yang lebih hormat dan mendidik.
Lovelill
0 comments:
Posting Komentar
Please leave a comment if you have critics for me