Enjoy this post
Pagi ini aku sudah ditinggal sendiri sejak pukul 04:30. Ayah ibuku pergi beberapa hari ke Tasikmalaya untuk pengobatan adikku. Ku lihat sekeliling rumahku nampak sepi, perut keroncongan saat jam menunjukkan pukul 07:00 pagi. Ku buka lemari es yang berdiri di pojok ruang makan. Hanya ada udang dan bakso. Lalu ku lihat ke arah penghangat nasi, ku lihat nasinya nampak sudah tidak bagus, tapi terlihat akan lebih enak jika aku menyulapnya menjadi nasi goreng. Kubuat bumbunya kemudian, dan beberapa menit nasi goreng pun jadi dan cukup menghangatkan tubuhku yang mulai kedinginan karena lapar.
Aku tak ingin berada lama di rumah. Pukul 08:00 aku memutuskan untuk kembali ke kostan yang terletak di wilayah Depok. Seperti biasa aku memilih kereta sebagai transportasi pengantarku. Mata kantukku membuat tubuh melemas, sepanjang perjalanan menuju stasiun Jakarta kota tubuhku terlelap di tengah sejuknya pendingin udara yang mengisi gerbong khusus perempuan tempatku berada.
Sesampainya di stasiun Jakarta Kota, aku melihat kereta berikut tujuan Bogor sudah terparkir sesak di jalur 12. Tanpa pikir panjang aku pun segera membeli tiket. Setelah tiket di tangan tubuh gempalku berlari menuju rangkaian kereta yang beberapa menit lagi akan diberangkatkan. Benar saja saat kakiku memasuki gerbong paling belakang, kereta pun melaju. Aku berdiri dengan pikiran kosong, entahlah sejak aku tahu masalah yang harus dihadapi keluargaku, aku berubah menjadi orang yang melemah.
Aku memutuskan untuk turun di stasiun Juanda. Tak ada rencana sama sekali untuk turun di stasiun ini. Kakiku menlangkah menuju Jalan Veteran I yang terletak persis di sebrang stasiun. Saat itu aku memutuskan untuk menenangkan diri dengan menyantap ice cream kolosal yakni Ragusa. Kulihat antrean yang cukup panjang di dalamnya, padahal saat itu jam masih menunjukkan pukul 10:30.
Aku duduk di sudu ruangan. Sendiri. Ku lihat kanan kiriku orang-orang dengan muka sumringah. Berbagi bersama orang yang mereka sayang. Pikirku saat itu adalah, andai di sampingku ayah, ibu dan adikku. Aku mengenang kejadian beberapa bulan yang lalu, saat libur sekolah tiba. Tubuh adikki masih sehat walfiat dan gempal. Kami duduk bersama, menikmati seglas ice cream tutty fruity yang menjadi favorit kami berdua. Di samping kami ayah dan ibu yang sedang asik menyantap otak-otak ikan. Aku tersenyum kecut, dan berkata "Aku tiba-tiba rindu keluargaku".
Setelah puas menyantap ice cream, segelas cola float, dan sepiring otak-otak, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kostan. Kereta ekonomi kembali ku taiki. Suasanan lebih sesak dari kereta pertama yang tadi ku naiki, saking sesaknya terasa sekali bahwa kereta tersebut berjalan sangat pelan. Mungkin hanya 15km/jam.
Nafasku terengah-engah, kepala rasanya ingin pecah, keringat meluncur dengan derasnya. Panas !! Tak ada celah udara yang masuk, lalu lalang pedagang memperkisruh keadaan. Ah, rasanya emosi membludak, ditambah aroma tak sedap dari bapak-bapak yang berdiri persis di depanku. Ketiaknya basah, sampai terlihat jelas di kemeja yang dikenakannya.
Memasuki stasiun Lenteng Agung suasana kisruh mulai terasa di atap gerbong. Nampaknya beberapa oarang memanjat dan duduk tanpa takut di atap gerbong. Mereka tak pernah beripikir bahaya yang mengancam saat mereka memutuskan untuk duduk di atap gerbong.
Hari ini aku berniat untuk membeli bahan-bahan untuk memasak. Memasaka adalah salah satu cara ampuh yang dapat menghilangkan rasa penatku. Aku pun turun di stasiun Pondok Cina. Setelah keluar dari ruangan "SAUNA" dengan berbagai macam aroma terapi, mataku terbelalak tajam melihat sekumpulan anak kecil yang ternyata menjadi penyebab kegaduhan. Beberapa anak di atap berteriak dengan brutalnya kepada sorang anak sebayanya yang berada di bawah.
Aku teringat adikku yang saat ini mulai mempertanyakan statusnya dalam keluargaku. Pikirku saat itu adalah "Kau beruntung! Kau terlahir yatim piatu, dan Allah mengirimkanmu pada keluarga ini. andai kamu bisa lihat anak-anak itu, mereka mungkin masih punya ayah ibu kandung mereka. Tapi apa mereka dapat apa yang seperti yang kamu dapat? Ayah dan ibu yang beitu perhatian, aku yang diam-diam sangat menyayangi dan selalu menganggapmu, dan materi yang cukup. Lihat mereka? Mereka tak lebih baik darimu, dengan brutalnya mereka memaki, tak nampak di perangai mereka bahwa mereka anak yang beruntung! Andai kamu bisa lebih memahami itu dengan sedikit kedewasaanmu dek!"
Kemudian kakiku melangkah menuju salah satu pusat perbelanjaan yang terletak tak jauh dari stasiun. Sesampainya di bagian sawalayan, aku mulai memikirkan apa yang inign ku masak. Ku beli bumbu-bumbu, beberapa jenis sayuran, ceker ayam, dan udang.
Sesampainya di kostan semua kembali terasa hening, tapi hidup masih harus tetap dijalani. Satu keyakinan dalam hati bahwa Allah memberikan ujian padaku karena Allah percaya aku dapat melewatinya dengan baik untuk menjadi umat-Nya yang lebih baik.
0 comments:
Posting Komentar
Please leave a comment if you have critics for me